Lilypie 4th Birthday PicLilypie 4th Birthday Ticker
Lilypie 2nd Birthday PicLilypie 2nd Birthday Ticker

Wednesday, January 26, 2005

Jiwa-jiwa Penyeru

Sejauh kaki melangkah, kepada ridha Allah kita melaju
Setinggi tangan menggapai, kepada ridha Allah kita berupaya
Seluas mata memandang, kepada ridha Allah kita menatap
Sepanjang do’a terucap, untuk ridha Allah kita memohon

Dan sebesar apapun nilai yang telah kita capai, atas ridha Allah kita bersyukur
-----

Jiwa-jiwa Penyeru

Merekalah jiwa-jiwa penyeru.
Hati mereka telah dibalut dengan kekikhlasan puncak kepada Allah, yang mengutus mereka. Tak Ada keinginan dunia dalam hati mereka, yang ada hanya kerinduan berjumpa dengan Allah.
Atas dasar ini mereka menyeru manusia, menyelamatkannya dari kejahiliyahan yang nyata, mengajaknya mengenal. Tak ada lagi rasa kebencian kepada umatnya, walau hinaan, cacian dan makian kerap mereka terima. Salamatush Shudur (selamatnya hati) terhadap kaumnya lahir dari keikhlasan itu, Rohabatush Shudur (lapang dada) adalah puncak dari rasa itu. Dari sanalah kekuatan da’wah itu lahir. Tekad mereka tak pernah lekang walau menebusnya dengan raga.
Siapakah kini yang mampu menahan kekuaatan azamnya sementara mereka menyandarkan jiwanya kepada sang Khaliq, yang Maha Mencipta.

Merekalah jiwa-jiwa penyeru.
Akal mereka selamat dari semua pemikiran manusia. Mereka hanya menyandarkan hujjahnya pada manhaj yang telah diturunkan dalam kitab yang suci mulia, Al-Qur’an, dan contoh agung manusia termulia, Sunnah Nabi.
Dari sanalah kekuatan hujjah itu lahir. Penjelasannya tentang dunia dan lika-likunya, telah mencengangkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Siapakah kini yang mampu menahan kekuatan ilmunya sementara mereka menyandarkan akalnya kepada sang ‘Alim, yang Maha Tahu.

Merekalah jiwa-jiwa penyeru.
Lisan mereka lembut mengucap kebenaran.
Bahasa kasih sayang adalah bahasa yang keluar dari kalbunya, bahasa universal yang mereka gunakan untuk menghancurkan kezaliman disaat orang-orang bodoh berda’wah dengan kekerasan dan kebencian, serasa semua manusia adalah iblis yang pantas dibakar di jilatan api neraka.
Disaat semua orang yakin bahwa penyelesaian kehidupan adalah dengan kekerasan, kekejaman, kata-kata pedas, jihad dengan arti semu, saling membalas kehinaan mereka, jiwa-jiwa penyeru itu, tetap menebar senyum dan kasih sayang, mengajak kaum kuffar dan mereka yang tergelincir dalam kesesatan dengan kelembutan lisannya.
Kasih mereka bagai ibu, yang tak rela anaknya jatuh di lembah kenistaan.
Siapakah kini yang mampu menahan kekuatan ‘sihir’nya , sementara mereka menyandarkan syu’urnya (perasaan) kepada sang Latif, yang Maha Lembut.
“ Perasaan dan kasih sayang adalah ‘bahasa’ internasional yang dipergunakan para da’i dalam menghadapi seluruh penduduk bumi”. Demikian Abbas as_Sissi.

“ Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu”. Demikian firman Allah (3: 159)

Merekalah jiwa-jiwa penyeru.
Jasad mereka tegar menghadang kezaliman.
Kesungguhannya, pengorbananya telah berpadu satu dengan keistiqomahan yang lahir dari rasa cinta kepada umatnya.
Mereka tak pernah melihat manusia dengan kacamata iman dan kafir secara mutlak, mereka melihatnya dengan kacamata balasan yang akan diperoleh, surga atau neraka.
Tak ada keinginan mereka untuk menceburkan musuhnya ke dalam lautan api.
Tidak! Bahkan yang ada adalah kesedihan yang mendalam dan keinginan yang menggebu ingin menyelamatkan mereka dari siksa yang yang pedih dan memasukkan sebanyak-banyaknya manusia dalam rahnmat Allah, bergabung bersama para sahabat mulia di jannatun naim.
Siapakah kini yang mampu menahan langkahnya, sementara mereka menyandarkan jasadnya kepada Sang ’Azizi, yang Maha Perkasa.
Hati mereka telah dibalut dengan rasa kasih sayang Sang Maha Rahman. Lisan mereka telah disiram dengan kalimat lembut Sang Rahim. Jasad mereka telah menjelma menjadi penyebar kedamaian dan penuh kasih sayang.

“ Betapa inginnya kami agar ummat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu biru hati kami, menguasai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencaput rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami. Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik ummat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan”. Demikian Syaikh al-Banna.

Teringat teladan mereka yang mulia, tatakala lewat Yahudi di hadapan beliau. Deraian air mata jatuh menggetarkan setiap kalbu yang bersih dan suci dengan kilatan iman. “ Mengapa engkau tangisi dia , ya Rasulullah, padahal dia Yahudi ?” tanya murid-murid setia menyatakan keheranaan bercampur kekaguman. “ Aku bersedih, sampai kapan orang itu berada dalam kekafiran dan sampai kapan aku dapat mengajaknya kepada Islam.” jawab lisan yang selalu basah dengan dzikrullah itu.

Merekalah jiwa-jiwa penyeru. Merekalah para da’i.

Terkadang mereka tak lagi punya kata, untuk mengucap kebodohan kaumnya, keingkatrannya terhadap kebenaran yang dibawa nabi-nabi mulia.

Terkadang mereka tak lagi punya air mata , untuk mengisi banyaknya manusia yang tergelincir dalam lembah noda dan nista.
Terkadang mereka tak lagi punya harga, untuk sekedar membiayai kehidupan seharinya.
Terkadang mereka tak lagi punya raga, untuk bertahan melawan penindasan kaumnya. Tapi diujung hayatnya, mereka masih sempat berkata “ummati…, ummati…, ummati…”

“Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta. Sesaatpun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian”. Demikian Syaikh al_Banna.

Adakah kini, ungkapan rasa yang dapat mengalahkan kata-kata getir peryataan sang jiwa penyeru.

Adakah kini, ungkapan kata yang dapat mengalahkan rasa yang demikian mulia, milik jiwa-jiwa penyeru.
Merekalah sebaik-baik manusia yang Allah ciptakan, menjadi sungai bagi mereka yang ingin mengambil kesejukannya demi perjalanan kehidupan. Menjadi bunga bagi mereka yang ingin mengambil sarinya.
Merekalah jiwa-jiwa penyeru. Penyelamat sejati.

Abu Hanifah [Al-Izzah no.4 Th.1]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Name :
Web URL :
Message :
smileys